Kisah Teladan Berintegritas Para Tokoh Bangsa

MAKASSARINFO – Mempertahankan integritas bukan perkara mudah, apalagi jika godaan korupsi muncul di depan mata. Butuh keteguhan hati untuk memegang nilai-nilai integritas agar godaan bisa ditepis. Para tokoh bangsa sudah membuktikannya, bahwa korupsi harus dilawan mulai dari diri sendiri.

Kisah-kisah soal kejujuran para tokoh bangsa ini layak menjadi teladan bagi kita agar tetap semangat melawan korupsi. Cerita-cerita mereka juga menjadi bukti bahwa korupsi tidak pernah mendapat tempat dalam sejarah. Korupsi, tidak akan pernah menjadi budaya di negeri ini.

Para tokoh-tokoh di bawah ini telah menerapkan nilai-nilai integritas dalam pekerjaan dan keseharian. Siapa saja mereka?

1. Kesederhanaan Hidup H. Agus Salim 

Tokoh bangsa yang layak menjadi panutan adalah H. Agus Salim. Agus Salim dikenal jenius dengan menguasai sembilan bahasa dan selalu juara di kelasnya. Integritas Agus Salim terlihat sejak usia muda, salah satunya ketika dia menolak beasiswa dari Belanda.

Beasiswa sekolah kedokteran itu seharusnya untuk RA Kartini. Namun karena Kartini harus menikah, dia terpaksa melepaskannya. Kartini dalam suratnya kepada Abendanon merekomendasikan Agus Salim untuk menggantikannya. Bukan tanpa alasan, Kartini tahu Agus Salim adalah seorang yang cemerlang.

Agus Salim menolak pengalihan beasiswa tersebut karena merasa bukan karena jerih payahnya. Sikap ini sulit dibayangkan di masa kini, ketika banyak sarjana yang lulus bukan dari usahanya sendiri, menggunakan joki atau membeli ijazah.

Sikap berintegritas ini juga ditunjukkan ketika pria kelahiran 1884 ini menjabat. Walau bertitel menteri dan pejabat negara, namun Agus Salim sengaja hidup dalam kesederhanaan. Rumahnya mengontrak, atapnya bocor jika hujan tiba, namun Agus Salim tetap pada prinsipnya.

“Orang tua yang sangat pandai ini adalah seorang yang genius. Ia mampu berbicara dan menulis secara sempurna sedikitnya dalam sembilan bahasa. Kelemahannya hanya satu: ia hidup melarat,” Itulah tulisan Willem Schermerhorn, seorang pejabat Belanda, dalam Het dagboek van Schermerhorn (Buku Harian Schermerhorn) saat mengomentari kebersahajaan H. Agus Salim.

2. Hoegeng Iman Santoso Menutup Toko Kembangnya

Kepala Kepolisian Republik Indonesia periode 1968–1971 Hoegeng Iman Santoso dikenal seorang yang berintegritas. Salah satu bukti klaim ini adalah ketika Hoegeng meminta istrinya Merry Roeslani menutup toko kembang mereka, sehari sebelum pelantikannya sebagai kepala jawatan imigrasi (1960-1965).

Ibu Merry tak habis pikir dengan permintaan suaminya itu karena toko kembang tersebut adalah salah satu sumber penghasilan tambahan mereka. Hoegeng menjawab tegas, “Nanti semua orang yang berurusan dengan imigrasi akan memesan kembang pada toko kembang ibu, dan ini tidak adil untuk toko-toko kembang lainnya”. 

Sikap ini juga ditunjukkan Hoegeng saat dia diangkat sebagai Kepala Direktorat Reserse dan Kriminal Polda Sumatera Utara pada 1956. Sempat berdiam di Hotel De Boer selama beberapa waktu karena rumah dinas masih dihuni pejabat lama, Hoegeng terkejut bukan kepalang saat tiba giliran menempati rumah itu. Rumah dinas itu dipenuhi barang-barang mewah. 

Hoegeng tak bisa menerima hal itu. Ia menyatakan baru akan pindah bila rumah tersebut hanya diisi barang-barang inventaris kantor. Pada akhirnya, Hoegeng dan keluarganya mengeluarkan semua barang mewah itu ke tepi jalan. Belakangan diketahui, barang-barang itu berasal dari bandar judi yang hendak menyuapnya.

3. Kisah Bensin Mobil Dinas Baharuddin Lopa

Nama Baharuddin Lopa (Barlop) tidak lepas dari upaya pemberantasan korupsi di tanah air. Karier Lopa cemerlang, pernah menjabat Bupati Majene saat usia 25 tahun. Dia kemudian menjadi Kepala Kejaksaan Negeri Ternate pada 1964. Dua tahun kemudian, Barlop menjadi Kepala Kejaksaan Tinggi Aceh hingga pindah ke Kalimantan Barat pada 1974. Berikutnya, ia menjabat Kepala Pusdiklat Kejaksaan Agung RI (1976–1982), dan Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan (1982–1986). 

Barlop akhirnya menjadi Jaksa Agung RI sekaligus Menteri Kehakiman dan Perundang-undangan pada 2001. Dia meninggal pada 2001 dalam perjalanan dinas ke Arab Saudi. 

Semasa aktif, Barlop dikenal tegas dan berani melawan kejahatan kerah putih. Ia menyeret Tony Gozal alias Go Tiong Kien dengan tuduhan memanipulasi dana reboisasi Rp 2 miliar. Barlop juga mengejar keterlibatan Arifin Panigoro, Akbar Tanjung, dan Nurdin Halid dalam kasus korupsi. Selain itu, ia pun berani mengusut kasus yang melibatkan mantan Presiden Soeharto.

Salah satu kisah kecil soal integritas Barlop berkaitan dengan mobil dinasnya. Suatu ketika, sebagai Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan, Lopa mengadakan kunjungan ke sebuah kabupaten di wilayah kerjanya. Dalam perjalanan pulang, Lopa tiba-tiba menyuruh ajudannya menghentikan mobil. Lopa bertanya kepada sang ajudan, “Siapa yang mengisi bensin?” Si ajudan pun dengan jujur menjawab, “Pak Jaksa, Pak!”

Mendengar itu, Lopa menyuruh ajudannya memutar mobil, kembali ke kantor sang jaksa yang mengisikan bensin ke mobil itu. Tiba di sana, Lopa meminta sang jaksa menyedot kembali bensin sesuai dengan jumlah yang diisikannya. “Saya punya uang jalan untuk beli bensin, dan itu harus saya pakai,” seloroh Lopa.

4. Mesin Jahit Istri Mohammad Hatta

Jujur, sederhana, dan teguh memegang prinsip, begitulah kepribadian Mohammad Hatta, wakil presiden pertama Indonesia. Hal ini salah satunya disampaikan Mahar Mardjono, mantan Rektor Universitas Indonesia yang juga seorang dokter, ketika mendampingi Bung Hatta berobat ke luar negeri pada 1970-an.

“Waktu singgah di Bangkok dalam perjalanan pulang ke Jakarta, Bung Hatta bertanya kepada sekretarisnya, Pak Wangsa, jumlah sisa uang yang diberikan pemerintah untuk berobat. Ternyata sebagian uang masih utuh karena ongkos pengobatan tak sebesar dari dugaan. Segera Hatta memerintahkan mengembalikan uang sisa itu kepada pemerintah via Kedubes RI di Bangkok,” ungkap Mahar. 

Hal serupa juga dilakukan Bung Hatta sesaat setelah lengser dari posisinya sebagai wakil presiden. Kala itu, Sekretaris Kabinet Maria Ulfah menyodorkan uang Rp 6 juta yang merupakan sisa dana nonbujeter untuk keperluan operasional dirinya selama menjabat wakil presiden. Namun, dana itu ditolaknya. Bung Hatta mengembalikan uang itu kepada negara. 

Ketika Hatta mengeluarkan kebijakan senering (pemotongan nilai uang) dari Rp100 menjadi Rp1, istrinya Ibu Rahmi marah. Pasalnya, tabungannya jadi berkurang, padahal dia sudah mengumpulkan untuk beli mesin jahit yang sudah diidamkannya. 

“Kepentingan negara tidak ada sangkut pautnya dengan usaha memupuk kepentingan keluarga. Rahasia negara adalah tetap rahasia. Sungguh pun saya bisa percaya kepadamu, tetapi rahasia ini tidak patut dibocorkan kepada siapa pun. Biarlah kita rugi sedikit demi kepentingan seluruh negara. Kita coba nabung lagi, ya,” kata Bung Hatta menenangkan istrinya.

5. Ir. Sukarno Pantang Ambil Fasilitas Negara 

Presiden Pertama Indonesia Ir. Sukarno dikenal sebagai orang yang antikorupsi. Ketika akhirnya harus meninggalkan istana pada 1967, Sukarno masih menunjukkan integritasnya. Salah satunya ketika dia meninggalkan istana bersama anak-anaknya.  

“Mas Guruh, bapak sudah tidak boleh tinggal di istana ini lagi. Kamu persiapkan barang-barangmu, jangan kamu ambil lukisan atau hal lain. Itu punya negara!” kata Bung Karno yang lantas menyampaikan hal serupa kepada para ajudannya. 

Saat akhirnya meninggalkan istana, Bung Karno pun hanya mengenakan kaus oblong putih dan celana panjang hitam. Dengan menumpang VW kodok, ia minta diantarkan ke rumah Fatmawati di bilangan Sriwijaya, Kebayoran.

Sikap kenegarawanan Bung Karno juga ditunjukkan ketika dia menyikapi penggulingan dirinya. Salah satu ajudan Bung Karno kala itu bertanya, “Kenapa Bapak tidak melawan? Kenapa dari dulu Bapak tidak melawan?” 

Mendengar pertanyaan itu, Bung Karno menjawab, “Kalian tahu apa… Kalau saya melawan, nanti perang saudara. Perang saudara itu sulit. Jikalau perang dengan Belanda, kita jelas… Hidungnya beda dengan hidung kita. Perang dengan bangsa sendiri tidak… Lebih baik saya robek dan hancur daripada bangsa saya harus perang saudara”

6. Ketika Sri Sultan Hamengku Buwono IX Ditilang 

Memimpin Yogyakarta sejak 1940, dan beberapa kali menjabat menteri, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dikenal jujur, merakyat dan cinta negara. Sikap ini ditunjukkannya hingga akhirnya dia meninggal dunia pada Oktober 1988.

Salah satu kisah soal kejujuran Sultan terjadi pada pertengahan 1960-an. Ketika itu Sri Sultan Hamengku Buwono IX mengendarai sendiri mobilnya ke luar kota, tepatnya ke Pekalongan. Entah mengapa, Sri Sultan saat itu melakukan kesalahan. Dia melanggar rambu lalu lintas. 

Malang bagi Sri Sultan, seorang polisi yang tengah berjaga memergokinya. Polisi itu pun menghentikan mobil Sri Sultan. “Selamat pagi!” ucap Brigadir Royadin, polisi itu. “Boleh ditunjukkan rebewes (surat-surat kelengkapan kendaraan berikut surat izin mengemudi).” 

Sri Sultan tersenyum dan memenuhi permintaan sang polisi. Saat itulah sang polisi baru tahu bahwa orang yang ditindaknya adalah Sri Sultan. Brigadir Royadin gugup bukan main. Namun, dia segera mencoba memperbaiki sikap demi wibawanya sebagai polisi. 

“Bapak melanggar verbodden. Tidak boleh lewat sini. Ini satu arah!” kata dia. 

“Benar… Saya yang salah,” jawab Sri Sultan. Ketika melihat keragu-raguan di wajah Brigadir Royadin, beliau berkata, “Buatkan saja saya surat tilang”. 

Polisi pun melakukan tilang. Tidak ada sikap mentang-mentang berkuasa yang diperlihatkan Sri Sultan pada saat itu. Bahkan, tak lama kemudian, dia meminta Brigadir Royadin bertugas di Yogyakarta dan menaikkan pangkatnya satu tingkat karena dianggap berani dan tegas.

7. Tambalan di Kemeja Mohammad Natsir

Seorang menteri yang juga tokoh ternama di dunia internasional mengenakan kemeja bertambal? Jika hal itu diungkapkan pada saat ini, mungkin tak ada yang akan percaya. Namun, dulu sosok seperti itu nyata adanya. Dialah Mohammad Natsir, tokoh besar yang berkali-kali menjadi menteri dan sempat pula menjabat perdana menteri Indonesia.

George McTurnan Kahin, guru besar Universitas Cornell, Amerika Serikat, terhenyak kala bertemu M. Natsir untuk kali pertama pada 1946. Ketika itu, Natsir adalah Menteri Penerangan RI. “Ia memakai kemeja bertambalan, sesuatu yang belum pernah saya lihat di antara para pegawai pemerintah mana pun,” terang Kahin seperti tertulis dalam buku Natsir: 70 Tahun Kenang-kenangan Kehidupan dan Perjuangan.

Ternyata Natsir hanya memiliki dua stel kemeja kerja yang sudah tidak begitu bagus. Natsir tak malu menjahit kemejanya itu bila robek. Hal itu sampai membuat para pegawai Kementerian Penerangan mengumpulkan uang untuk membelikan Natsir baju agar terlihat seperti menteri sungguhan. 

“Mobil itu bukan milik kita. Lagi pula, yang ada masih cukup. Cukupkan yang ada. Jangan cari yang tiada. Pandai-pandailah mensyukuri nikmat.”

Demikianlah jawaban Mohammad Natsir atas pertanyaan putrinya, Lies, ketika mereka diberi sebuah mobil dari tamunya, pemimpin Fraksi Masyumi ketika itu. Padahal, itu mobil buatan Amerika Serikat yang tergolong mewah. Natsir pantang menerima pemberian seseorang yang lantas akan menjadi beban dalam menjalankan amanah. 

Natsir memang lebih suka memenuhi kebutuhan hidup dengan perjuangannya sendiri. Bertahun-tahun, Natsir tak malu nenumpang di paviliun rumah Prawoto Mangkusasmito. Dia pun sempat menumpang di rumah H. Agus Salim. Baru pada 1946, pemerintah memberikan rumah dinas kepadanya.

Kisah para tokoh bangsa yang membanggakan ini layak kita pelajari dan teladani di keseharian. Jabatan dan nama besar yang mereka miliki tidak lantas membuat silap mata untuk melakukan korupsi. 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *